Kupas Tuntas PRO-KONTRA Maulid Nabi Muhammad SAW

Salam hangat sahabat dakwah, karena sebentar lagi akan datang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, admin Jalan Dakwah mencoba untuk membahas tentang PRO dan KONTRA yang sering terjadi pada perayaan Hari Besar Islam yang satu ini. Muncul pertanyaan, "Sebenarnya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW itu Bid'ah atau bukan?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak dialog imajiner berikut ini yang mengisahkan dialog antara Pro-Maulid dan Anti-Maulid.

----------
 
Pro-Maulid : Kenapa sih ente seneng banget berkoar-koar bahwa orang-orang yang memperingati Maulid Nabi Saw itu berada dalam kesesatan?

Anti-Maulid : Karena memang memperingati Maulid Nabi Saw itu adalah perbuatan bid’ah dan seburuk-buruk perkara adalah bid’ah dan kullu bid’atin dhalalah. (setiap bid’ah itu sesat)
Di dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Setiap amalan yang tidak kami perintahkan adalah tertolak.

Pro-Maulid : Apa sih definisi bid’ah?
 
Anti-Maulid : Bid’ah adalah segala perkara yang baru (ihdats) yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Pro-Mualid : Kalau begitu apa yang membedakan bid’ah dengan ijtihad?
 
Anti-Maulid : Tidak ada ijithad di dalam Islam! Agama Islam sudah sempurna tidak perlu lagi tambahan-tambahan seperti ijtihad segala!
 
Pro-Maulid : Wah, semakin jelas bagi ane pengetahuan ente sangat minim tentang hadis Nabi Saw! Pernah baca hadis tentang Bilal?

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa setelah usai shalat Subuh, Rasulullah Saw bertanya kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang perbuatan yang paling bermanfaat yang telah kamu lakukan setelah memeluk Islam. Karena semalam aku mendengar suara langkah sandalmu di depanku di dalam surga.
Bilal berkata, “Aku tidak pernah melakukan suatu amalan yang paling bermanfaat setelah memeluk Islam selain aku selalu berwudlu dengan sempurna pada setiap waktu malam dan siang kemudian melakukan shalat sunat dengan wudluku itu sebanyak yang Allah kehendaki."
 
Ibn Hajar Asqalani mengatakan di dalam Fath al-Bari bahwa hadis di atas memperlihatkan diizinkannya menggunakan ijtihad di dalam memilih waktu untuk melakukan ibadah.

Yang paling menarik dari riwayat hadis ini adalah justru ijtihad Bilal inilah yang membuatnya dinubuatkan Rasulullah Saw bakal masuk Surga dan perbuatan yang dilakukan Bilal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri bertanya karena beliau Saw sendiri tidak mengetahuinya! Ente pernah baca hadis ini? Ane meragukannya!

Anti-Maulid : ???

Pro-Maulid : Tidak semua bid’ah itu sesat khan? Karena ketika sahabat Umar bin Khaththab memerintahkan umat Muslim untuk melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah Umar mengatakan :
“Ni’matul bid’ah hadzihi!” – sebaik-baik bid’ah adalah ini!

Anti-Maulid : Perkara Umar bin Khathab itu bid’ah lughawy, Pak bukan bid’ah syar’i.

Pro-Maulid : Wah, ente gak usah berkelit bahwa apa yang Umar katakan tersebut sebagi bid’ah lughawy, karena apa yang dikatakan Umar tersebut bukan hanya dikatakannya tetapi juga dilakukannya dan bahkan dia memerintahkah umat Islam saat itu untuk melakukannya, walaupun Abu Bakar sendiri — yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah lebih utama dari Umar – tidak melakukannya. Dan perintah Umar itu pun sudah menjadi bagian syari’at yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam saat ini. Jadi anda tidak perlu bikin istilah lughawy dan syar’i dengan tujuan membingungkan orang lain!
Dan ingat! Ditinjau dari makna lughawi sendiri kata sunnah pun berarti juga bid’ah, karena sunnah secara bahasa berarti ath-thariqah (jalan), apakah itu baik ataupun buruk. Oleh sebab itu setiap orang yang memulai suatu hal yang pada akhirnya dilakukan oleh banyak orang sesudahnya, maka hal itu disebut sunnah.”

Karena itulah di dalam Shahih Bukhari Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang mensunnahkan sunnah yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun dan barangsiapa yang mensunnahkan sunnah yang tercela (bid’ah) maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”

Al-Tirmidzi juga menshahihkannnya dan meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.
Hadis Bukhari di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa sunnah yang baik di atas adalah ijtihad yang benar sedangkan sunnah yang tercela di sana adalah bid’ah syai’ah (buruk) bukan hasanah!
Kedua hadis di atas menjelaskan juga secara gamblang bahwa tindakan-tindakan yang dimaksud adalah suatu kebiasaan baru yang dijadikan sebuah tradisi dan tak ada keraguan sedikit pun bahwa Memperingati Maulid Nabi Saw adalah perkara hasanah bukan perkara syai’ah!

Anti-Maulid : Tapi jika memperingati Maulid itu memang baik pastilah para sahabat Nabi sudah lebih dulu melakukannya!

Pro-Maulid : Ente sok masti-masti-in! Apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan para sahabat bukanlah tolok ukur kebenaran. Patokan dan standar kita adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul!

Anti-Maulid : Mengenai Maulid ini mana sunnahnya?

Pro-Maulid : Ente ini gimana seh! Semua yang ane omongin di atas khan udah jelas bahwa hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Bukhari dan Tirmidzi menjelaskan hakikat ijtihad dan bid’ah secara gamblang dan terang! Artinya ijtihad dan ijma’ para ulama dahulu sudah menjadi sunnah hasanah atau ijtihad yang benar! Dan Maulid Nabi yang kami peringati setiap tahun itu bagian dari ijtihad dan ijma ulama yang jelas-jelas merupakan sunnah hasanah bukan sunnah syai’ah! Ente masih gak paham?

Anti-Maulid : ??? [Masih bengong]

Anti-Maulid : Jika begitu anggapan Bapak itu berarti Bapak menganggap Bapak dan ulama-ulama Bapak lebih hebat dari para sahabat Nabi dong?!

Pro-Maulid : Jangan menarik kesimpulan dengan cara yang sesederhana itu, karena ijtihad seperti ini bukan ukuran hebat atau tidaknya seseorang atau sekelompok orang, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang hidup terkemudian bisa saja lebih unggul dari beberapa sahabat Nabi Saw! Tapi tidak semua sahabat Nabi lho!

Anti-Maulid : Wah gawat neh (sambil tertawa mengejek), kayaknya pemikiran Bapak sudah seperti kaum Syi’ah Rafidi!

Pro-Maulid : Ente jangan asal bicara! Hadis tentang ini bukan kagak ada! Nih ente dengerin baik-baik dan gunakan otak ente ya!

Dari Abu Isalabah al-Khusyani telah berkata: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Hendaklah kamu sekalian memerintahkan kepada kebajikan dan hendaklah kamu melarang kejahatan, sehingga apabila kamu melihat kikir dipatuhi dan hawa nafsu diikuti dan dunia didahulukan dan kekaguman tiap-tiap orang yang mempunyai pikiran dengan pikirannya sendiri, maka hendaklah kamu pada pendirian dirimu sendiri, dan tinggalkanlah olehmu urusan orang umum. Karena sesungguhnya di belakang kamu ada beberapa masa, yang sabar pada masa itu seperti menggenggam bara api; bagi orang yang beramal pada masa itu seperti pahala 50 orang lelaki yang beramal seperti amalnya.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan at-Turmudzi)

Dan Abu Dawud meriwayatkan dengan tambahan: Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah, pahala 50 orang lelaki dari kami ataukah dari mereka?” Beliau bersabda: “Bahkan pahala 50 orang lelaki dari kamu.” (H.R. Abu Dawud)

Kata kamu di atas sangat jelas dan gamblang adalah para sahabat Nabi! Dan memang pantas bahwa orang-orang yang beriman teguh padahal mereka tidak pernah berjumpa dengan Nabi Saw dan melihat turunnya wahyu, tentu saja lebih hebat dari kaum Salaf yang pernah berjumpa dengan beliau Saw dan menyaksikan turunnya wahyu!

Nah, ente pernah baca gak? Jangan berkelit lagi, ini hadis Nabi, mau ngomong apa lagi ente? Kayaknya ente gak pernah baca deh! Makanya kalo belajar Islam jangan cuma baca fatwa-fatwa syekh-syekh Wahabi-Saudi di internet aje! Baca tuh kitab-kitab hadis dan tafsir Quran, Dan inget! Hadis di atas bukan hadis Syiah!

Dan dari keterangan hadis di atas sangat jelas bahwa insya Allah kami (Pro-Maulid) adalah orang-orang yang berusaha keras menganjurkan kebaikan dengan mensunnahkan Maulid Nabi Saw dan melarang kejahatan yaitu “fitnah Bid’ah Syirik Khurafat” yang ente tujukan ke semua kaum Muslim selain kelompok ente Wahabi-Salafy!

Anti-Maulid : Apa ada dalil lain bahwa orang-orang yang hidup setelah para sahabat Nabi lebih hebat dari mereka?

Pro-Maulid : Makanya belajar agame tuh kudu yang bener tong! Baca tuh kitab-kitab hadis, tafsir Quran, asbabun nuzul, wah masih banyak lagi yang mesti ente baca deh..jangan cuma modal menjelajah internet gratis ente udeh bisa senak udel ente nyesat-nyesatin orang!

Anti-Maulid : Udeh deh beh ada gak dalil lainnya?

Pro-Maulid : Ente pernah gak baca ayat Quran : “dan kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka.” (QS Jumu’ah [62] ayat 3]?

Anti-Maulid : Memang apa maksud dari ayat itu?

Pro-Maulid : Makanya khan ane bilang belajar juga tuh tafsir Quran dan hadis! Ente bilang ane ingkar sunnah, padahal ente kendiri kagak banyak tahu soal hadis!

Dari Abu Hurairah katanya: Pernah kami duduk dekat Rasulullah Saw, ketika itu turun kepada beliau Surat Al-Jumu’ah. Setelah beliau membaca “wa akharina minhum lamma yal haqu bihim” (dan kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka) Seorang laki-laki bertanya: “Siapakah kaum yang lain itu, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw tidak menjawab sampai laki-laki itu bertanya 1, 2 atau 3 kali lagi, sedang di antara kami hadir sahabat Salman Al- Parisi (Bangsa Persia). Lalu Nabi meletakkan tangannya kepada Salman, kemudian beliau Saw bersabda: “Lau kâna al-îman ‘inda al-tsurayyaa lanâ lahu rijâlun min hâula-i” – “Kalau seandainya iman itu terletak di Bintang Tsurayya, niscaya ia akan dapat dicapai juga oleh beberapa orang dari orang-orang ini.” 

Anti-Maulid : Ah, hadis itu khan gak menunjukkan bahwa ada orang-orang terkemudian yang lebih hebat dari para sahabat Nabi!

Pro-Maulid : Weleh-weleh…ini diaaa, makin kelihatan anehnya ente! Baca dong ayat Qurannya dan baca penjelasan Nabi Saw tersebut. Ente jangan berkelit dong. Kalau ente beriman pada hadis ini iya ente harus terima kalau enggak, berarti ente sendiri yang ingkar sunnah..(he..6x)

Anti-Maulid : Pokoknya semua yang tidak pernah dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat adalah bid’ah!

Pro-Maulid : Nah, bener khan ente udah ngeluarin ilmu pamungkas ente yaitu : kata POKOKNYA! Ini khan artinya ente gak peduli kalo argumen atau hujjah ane bener atawa salah POKOKNYA ente yang BENERR gitu khan?

Pro-Maulid : Ok deh, kalau demikian definisi bid’ah ente, maka berarti ente juga sudah melakukan bid’ah, karena ente sendiri khan memakai sajadah kalo shalat, memakai speaker kalo ‘adzan. Ente juga sok berdakwah pake internet!?

Anti-Maulid : He..he..he..Dangkal sekali pemahaman Bapak atas makna bid’ah! Sajadah, speaker dan internet adalah sekadar tool (alat bantu) untuk beribadah, jadi memakai tool-tool tersebut bukan termasuk bid’ah!

Pro-Maulid : Bagaimana dengan memakai tasbih untuk berzikir?

Anti-Maulid : Itu bid’ah! Eh…[Kebingungan, karena selama ini kaum Wahabi-Salafy juga membid’ahkan kaum Muslim yang menggunakan tasbih]

Pro-Maulid : He..he..he…Ente pernah denger gak fatwa salah seorang syekh Wahabi ente, Abu Abdillah al-Abdari yang bergelar Ibn al-Haj?

Anti-Maulid : ??? [Menggeleng-gelengkan kepalanya]

Pro-Maulid : Nih dengerin dengan seksama dan buka tuh kuping ente lebar-lebar!
Ibn al-Haj di dalam kitabnya al-Madkhal mengatakan :
Keberadaan kipas angin di dalam masjid-masjid itu termasuk perkara bid’ah dan para ulama kita (syekh-syekh Wahabi) telah melarang hal tersebut. Sebab, menjadikannya di dalam masjid adalah bid’ah!” (Baca buku Ibn al-Haj, al-Madkhal, Jil. 2, hlm. 212 dan hlm. 224) Nah gimana tuh kalo pake AC, speaker dsb..?

Anti-Maulid : ??? [Makin kebingungan]

Pro-Maulid : Hah? Pernah baca kitab itu? Itu kitab ente punya syekh! Makanya jangan cuma belajar lewat internet, Tong!

Pro-Maulid : Ente bilang pake internet bukan bagian dari ibadah? Gimana kalo internet itu ente pake untuk dakwah, apa itu bukan ibadah? Jadi pake internet pun termasuk bid’ah sama seperti syekh-syekh ente bilang pake tasbih itu juga bid’ah!
Nah, Tong! Sekarang siapa yang sebenarnya dangkal? Ente ape ane? He..6x

Anti-Maulid : ??? [Tertunduk malu]

Pro-Maulid : Udeh deh ente gak usah malu-malu kalo udah gak punya argumen! besok ente tanyain ame ustad ente tuh yang pernah belajar bertahun-tahun di Saudi, siapa namenya? Wah sorry ane gak ingat!

Anti-Maulid : Pokoknya semua yang tidak pernah dicontohkan Nabi Saw dan para sahabat adalah bid’ah!

Pro-Maulid : He…6x (tertawa terpingkal-pingkal) Heh Tong…ente tahu gak darimana dan dari siapa sebenarnya hujjah yang ente pake itu?
 
Anti-Maulid : ??? (Bengong)
 
Pro-Maulid : Nah bengong khan? Makanya jangan Cuma copy-paste fatwa dari internet aja! Tong, itu adalah fatwa Ibn Taymiyyah! Kalo ente mau tahu siapa sebenarnya Ibn Taymiyyah baca deh artikel ane tentang siapa sebenarnya dia?

Oya, fatwa Ibn Taymiyyah itu begini : “Sesungguhnya (perayaan maulid Nabi saw) ini tidak dilakukan oleh kaum salaf meskipun adanya kebutuhan untuk melakukan hal itu dan tidak ada sesuatu yang mencegah mereka dari perbuatan itu. Sekiranya perayaan maulid ini adalah kebaikan semata-mata atau lebih diutamakan, niscaya salaf lebih berhak melakukannya daripada kita karena sesungguhnya mereka itu lebih besar kecintaannya kepada Rasulullah dan lebih mengagungkan beliau daripada kita. Mereka (kaum salaf) itu lebih memperhatikan kebaikan (daripada kita).” 

Nah ini dia fatwa syekh ente yang plin-plan alias mencla-mencle itu!
 
Anti-Maulid : ??? Mencla-mencle gimana maksudnya, Pak?
 
Pro-Maulid : Mencla-mencle atau plin-plan itu gak yakin atau peragu, dan itu memang ciri khas yang dimiliki orang-orang Khawarij!
 
Anti-Maulid : Sebentar, Pak! Bapak punya bukti atau tidak kalo Ibn Taymiyyah itu mencla-mencle! (geram dan marah)
 
Pro-Maulid : Makanye kalo belajar pake kitab bukan cuma copy paste dari salafy.org atau manhaj.org akibatnya begini! Belajarlah dari sumber aslinya bukan dari kata si anu atau kata si fulan (qiila wa qaala)!
Nih ane bacaan apa yang dikatakan Ibn Taymiyyah tentang Maulid yang menunjukkan keraguan dia tentang hukumnya!

Ibn Taymiyyah berkata : “Demikian pula yang diciptakan oleh sebagian manusia (perayaan maulid), maka adakalanya ia menyerupai kaum Nasrani (Kristen) dalam merayakan kelahiran al-Masih (Nabi Isa as), atau karena kecintaan kepada Nabi saw dan pengagungan kepada beliau, sedangkan Allah memberi pahala kepada mereka ini karena kecintaan dan ijtihad, bukan karena perbuatan bid’ah.” 

Jelas khan! Sebelumnya dia ngomong begini, setelah itu dia sendiri bingung! Coba ente baca deh kitabnya itu, mudah-mudahan ente tercerahkan dengan penjelasan ane ini!

Anti-Maulid : (Termangu-mangu) Tapi biasanya di dalam perayaan-perayaan Maulid Nabi ini ada juga hal-hal haram yang dilakukan masyarakat saat mereka merayakannya. Misalnya: percampuran kaum perempuan dan laki-laki dan masih banyak lagi, Pak!

Pro-Maulid : Pernyataan ente ini menunjukkan ente sudah kehabisan dalil! Sebab diskusi kita ini seputar hukum peringatan Maulid itu sendiri. Ada pun perkara-perkara yang kemudian muncul dalam peringatan Maulid tidak bisa jadi alasan untuk melarang peringatan Maulid itu sendiri. Misalnya, jika ada orang yang pergi umroh dengan tujuan untuk sekadar berwisata, atau belanja atau bahkan pergi dengan yang bukan muhrim, maka tidak lantas kita bisa seenaknya mengharamkan ibadah umroh! Iya khan?! Yang begini ini udah gak asing lagi! Jadi jangan diskusi kita malah keluar dari topiknya! Makanya belajar logika ya Tong, biar pinter dikit!

Udah deh ane mau permisi dulu, ane do’ain moga-moga ente dapet hidayah dari Allah Swt ye! Salamun ‘alaykum!

----------

Semoga bisa menjadikan pencerahan bagi kita yang masih ragu-ragu dalam menentukan hukum dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Sumber: Blog Sahabat

Imam Asy-Syafi'i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 - Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Rasulullah.

Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Kelahiran

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Nasab

Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

Masa belajar

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata, ”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’.” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya tulis

Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i, ”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah, ”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap.”

Mazhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat”. Penduduk Baghdad mengatakan, ”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, dan ia (hadis) adalah madzhabku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok.”

Sumber: Wikipedia

Kelola Tidur = Bangun Tahajud

Kali ini Jalan Dakwah kembali me-repost artikel dari salah satu Link Sahabat dari Jalan Dakwah, isinya sangat menarik. Berikut isi artikel yang berjudul "Strategi Tidur dan Tahajud" ini:

Rugilah orang-orang yang sibuk menidurkan diri sehingga LUPA dan lalai untuk melaksanakan ibadah mulia sebagai orang beriman.

Umumnya orang beranggapan bahwa tidur malam yang baik memerlukan waktu sekitar enam hingga delapan jam sehari. Benarkah demikian? Kita merasakan bahwa tidur malam kita selalu tidak cukup. Ini disebabkan karena kita tidak terlatih atau mengikuti aturan yang benar ketika kita tidur. Tidur yang teratur dapat mengefektifkan waktu kita terutama untuk beribadah di malam hari serta untuk mengerjakan hal lainnya. Di dalam Al-Quran disebutkan ada segolongan manusia yang masuk surga karena ibadah malamnya dengan mengurangi waktu tidur malamnya. 

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (١٥)آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (١٦)كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (١٧)وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

"sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa ada di dalam surga dan dekat dengan air yang mengalir. Sambil mengambil apa yang diberi oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum ini di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah." (Adz-Dzariyat: 15-18)

Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang baik bagaimana tidur yang benar. Sebagai ringakasan mungkin kita bisa latihan untuk tidur malam seperti :
  1. Makan malam sedikit saja cukup sekedar supaya tidak lapar. Jika kita makan malam yang banyak maka akan menyebabkan kita cepat mengantuk dan susah bangun dari tidur.
  2. Tunaikan Sholat Isya' sebelum tidur.
  3. Bersihkan tempat tidur seperti seprei, bantal,kasur dan lain-lain dari kotoran.
  4. Amalkan doa-doa sebelum dan sesudah tidur seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.
  5. Kurangi waktu tidur dari delapan jam sehari menjadi tujuh jam sehari untuk bulan pertama latihan, pada bulan kedua kurangi waktu tidur malam menjadi enam jam sehari, seterusnya pada bulan ketiga menjadi lima jam sehingga kita bisa tidur untuk waktu tiga jam saja.
Setelah sukses men-setting tidur, langkah selanjutnya adalah setting mode "fall in love with Allah" dengan cara "time for dua-dua'an" yaitu menambah kecintaan terhadap Tahajud. Supaya bisa jatuh cinta, maka harus tau dulu kelebihan do'I apa sehingga kagum dan jatuh cinta.

Dari sisi logis, mungkin kita tidak mengerti bahwa perintah Allah itu mendatangkan kebaikan. Sesungguhnya Sholat Tahajud meneguhkan iman kita, jiwa kita, mental kita untuk menghadapi masalah hidup duniawi dan lain-lain.

Kemudian dari sisi sains pengobatan, kita akan menghirup oksigen di atmosfer bumi sekitar jam tiga pagi hingga terbit matahari dan menggerakkan otot-otot di dalam badan kita yang akan menyegarkan badan dan melancarkan aliran darah ditubuh kita.

Kedua hal tersebut, yaitu oksigen dan gerakan otot sangat penting bagi kesehatan tubuh manusia. Oksigen akan hilang dari atmosfer bumi selepas matahari terbit dan tidak datang lagi sampai besok pagi. Hanya manusia yang bangun pada waktu ini yang dapat menikmati oksigen tersebut.

Mengapa Allah menyuruh kita bangun di tengah malam untuk melaksanakan Shalat Tahajud? Apa rahasia di balik perintah Allah tersebut? Apakah betul orang-orang yang bertahajud di tengah malam akan diangkat Allah ke tempat yang terpuji?

Rasulullah SAW bersabda:

"Hendaklah kalian bangun malam. Sebab hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian. Wahana pendekatan diri kepada Allah SWT, penghapus dosa dan pengusir penyakit dari dalam tubuh". (HR at-Tirmidzi).

Beberapa Data Ilmiah Tahajud: 
  1. Dr. Abdul Hamid Diyab dan Dr. Ah Qurquz mengatakan, Shalat malam dapat meningkatkan daya tahan (imunitas) tubuh terhadap berbagai penyakit yang menyerang jantung, otak dan organ-organ tubuh yang lain.
  2. Bangun malam dapat menjadikan tubuh bugar dan bersemangat, serta terhindar dari penyakit punggung pada usia tua.
  3. Tahajud memiliki kandungan aspek meditasi dan relaksasi yang cukup besar, dan memiliki pengaruh terhadap kejiwaan yang dapat digunakan sebagai strategi penanggulangan adaptif pereda stres.
  4. Dalam bidang bio-teknologi, Shalat Tahajud dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan respon ketahanan tubuh dan menghilangkan rasa nyeri pasien yang terkena penyakit kanker.
  5. Shalat Tahajud yang dikerjakan dengan penuh kesungguhan, khusuk, tepat, ikhlas dan kontinyu diyakini dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif.
  6. Mengapa harus tengah malam?
Kata Tahajud terambil dari kata hujud yang berarti tidur. Kata Tahajud dipahami al-Biqai dalam arti tinggalkan tidur untuk melakukan Shalat. Shalat ini juga dinamakan Shalat lail/Shalat malam, karena dilaksanakan di waktu malam yang sama dengan waktu tidur. Apa rahasia bangun di tengah malam untuk Shalat Tahajud?

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا (٦)إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا

 "Sesungguhnya bangun diwaktu malam, dia lebih berat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya bagimu di siang hari kesibukan yang panjang".(Q.S Muzzammil: 6-7)

Dari ayat tersebut ada dua hal yang begitu mengesankan kita. Pertama, sengaja untuk bangun malam. Kedua, bacaan di malam hari memiliki efek dan dampak yang lebih mengesankan. Sengaja bangun malam hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki niat kuat. Niat yang kuat pasti didorong oleh motivasi yang kuat, sehingga pekerjaan tersebut akan dilakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh.

Apalagi Shalat Tahajud adalah Shalat sunnah, Insya Allah orang yang melaksanakan shalat sunnah adalah orang yang memang punya niat yang ikhlas dan motivasi yang kuat. Lain halnya dengan Shalat wajib, tidak jarang kita melaksanakan Shalat wajib hanya sekedar "gugur kewajiban". Shalat Tahajud dilakukan harus setelah tidur, meskipun sejenak.

Saat bangun tidur pasti pikiran kita lebih terang. Bayangkan dalam 1 hari, jantung kita berdetak 100.000 kali, darah kita mengalir melalui 17 juta mil arteri, urat darah halus/kapiler dan juga pembuluh vena. Tanpa kita sadari rata-rata sehari kita berbicara 4.000 kata, bernafas sebanyak 20.000 kali, menggerakkan otot-otot besar sebanyak 750 kali dan mengoperasikan 14 miliar sel otak. Dan tidur adalah istirahat yang sangat baik menurut ilmu kesehatan, karena terjadi proses pemulihan sel tubuh, penambahan kekuatan dan otak kita kembali berfungsi dengan sangat baik. Sangatlah tepat jika Allah berkehendak agar Shalat Tahajud dikerjakan setelah tidur. Dengan pikiran yang segar akan membantu kita lebih khusyu' memaknai ayat-ayat Allah yang kita baca. Berkomunikasi di malam hari kira-kira pukul 01:00 - 04:00 (sepertiga malam terakhir), secara umum akan lebih baik. (sumber: ensiklopedia tubuh)

Ini dapat kita buktikan ketika melakukan komunikasi lewat ponsel di waktu tengah malam atau berselancar mengarungi dunia maya lewat internet, kekuatan sinyal yang dipancarkan akan lebih kuat, jelas dan cepat. Komunikasi kita dengan Allah saat Tahajud, kira-kira dapatlah dianalogikan demikian. Disaat manusia terlelap tidur diselimuti mimpi, kita mampu berkomunikasi dengan Sang Khalik dalam keadaan pikiran tenang dan fisik yang segar, tentulah "komunikasi" akan terjadi dengan "sinyal" yang kuat dan jernih.

Bagaimana? Sudah fall in love belum dengan Tahajud? Jika sudah ter'setting semuanya dengan baik, maka tekan tombol on untuk memulai semuanya. Selamat Bertahajud.. Semoga bermanfaat.

Sumber: Percikan Iman

Daging Katak (Haram ato Halal?)

Salam hangat sahabat dakwah, model postingan baru dihadirkan oleh Jalan Dakwah nih sahabat, tujuannya tidak lain tidak bukan adalah agar para sahabat dakwah tidak bosan mengunjungi Jalan Dakwah, simak nih komik berikut:



Agar lebih jelas gambarnya, klik tombol kotak dengan tombol arah di keempat sisinya di bagian kanan bawah pojok komik ini, selamat menikmati,,,

Imam Malik

Salam sahabat dakwah, Jalan Dakwah kini tampil dengan tampilan yang lebih sejuk, dengan tema utama warna hijau yang melambangkan kedamaian. Seperti janji Jalan Dakwah di postingan sebelumnya yang berjudul Imam Baihaqi, di postingan kali ini akan berlanjut ke imam selanjutnya yang merupakan tokoh-tokoh besar islam sepanjang sejarah.

Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.

Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imam malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. Sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. Al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan, imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata:"Aku dilahirkan pada 93 H", dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun).

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabi'in. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”

Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata, ”Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mengetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits-hadits tersebut bersanad dari jalur-jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits-hadits mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Pujian Ulama untuk Imam Malik

An Nasa’i berkata, ”Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaannya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata, ”Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.

Imam as-Syafi'i berkata: "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in".

Yahya bin Ma'in berkata: "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits".

Ayyub bin Suwaid berkata: "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah, seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".

Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah".

Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i: "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab: "aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?".

Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. Sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H. Sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi': "Imam malik wafat pada usia 87 tahun" ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. Imam Malik dimakamkan di Baqi'.

Sumber: Wikipedia

Imam Baihaqi

Setelah sebelumnya kita telah membaca postingan dari Jalan Dakwah mengenai Hadist, akan terlihat disana banyak ulama-ulama yang meriwayatkan hadist tersebut. Sekarang, mari kita lebih mengenal para ulama tersebut satu per satu.

Imam Baihaqi (Khasrujard, 994/384 H - Naysabur, 1066/458 H), atau lengkapnya Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi (bahasa Arab: أبو بكر أحمد بن الحسين بن علي بن عبدالله البيهقي), adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadist, dan salah seorang tokoh utama dalam mazhab Syafi'i.

Imam Baihaqi dilahirkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naysabur di Persia (sekarang provinsi Khorasan, Iran) pada tahun 994. Ia mempelajari hadist dan mendalami fiqh mazhab Syafi'i, dan dalam hal akidah mengikuti mazhab Asy'ari. Dalam pencarian ilmunya, ia mendatangi para ulama di Baghdad, Kufah, dan Mekkah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Baihaq.

Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi'i. Imam al-Haramain al-Juwaini berkomentar tentang pemahaman Imam Baihaqi terhadap mazhab Syafi'i:
Tidak ada pengikut mazhab Syafi'i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi'i.
Sedangkan Imam adz-Dzahabi pernah berkata mengenai keluasan ilmunya, bahwa kalau Al-Baihaqi menghendaki, maka ia mampu membuat mazhab sendiri karena keluasan ilmu dan pemahamannya akan masalah-masalah khilafiyah.

Beberapa karya Imam Baihaqi, antara lain:
  • Al-Sunan al-Kubra
  • Ma`arifa al-Sunan wa al-Athar
  • Bayan Khata Man Akhta`a `Ala al-Shafi`i
  • Al-Mabsut
  • Al-Asma’ wa al-Sifat
  • Al-I`tiqad `ala Madhhab al-Salaf Ahl al-Sunna wa al-Jama`a
  • Dala’il al-Nubuwwa
  • Shu`ab al-Iman
  • Al-Da`awat al-Kabir
  • Al-Zuhd al-Kabir
  • Al-Arb`un al-Sughra
  • Al-Khilafiyyat
  • Fada’il al-Awqat
  • Manaqib al-Shafi`i
  • Manaqib al-Imam Ahmad
  • Tarikh Hukama al-Islam
Imam Baihaqi wafat di Naysabur pada tahun 1066 dan dimakamkan di Khasrujard.

Untuk postingan kali ini, cukup satu Imam dulu, selanjutnya, Jalan Dakwah akan memposting ulama-ulama yang lain satu per satu, agar kita bisa mengenal tokoh-tokoh yang luar biasa berjuang di jalan Islam setelah Rasulullah SAW.

Sumber: Wikipedia

Mari Mengenal Makanan Haram

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dan firman-Nya yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi! Yaa Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya”. (HR Muslim no. 1015).

Jenis Makanan HARAM:

1. BANGKAI

Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb:

A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.

B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.

C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.

D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: ”Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).

2. DARAH

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).

3. DAGING BABI

Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.

4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudian mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.

Adapun hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

6. BINATANG BUAS BERTARING

Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933)

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119). Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani.

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)

7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM

Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934)

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”

8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)

Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini: “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama: Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).

Kedua: Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).

9. AL-JALLALAH

Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).

“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).

“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).

Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”

Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).

Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu bolehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.” Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).

10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA

Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).

Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)

11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam.” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular”).

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).

“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.

12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH

“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad.” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).

Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). 

“Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).

Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam).

13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM

Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
KEPITING – hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).

KURA-KURA dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).

ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).

KATAK/KODOK – hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.

Sumber: Halal Guide